Bisnis merupakan salah satu dari sekian jalan untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Artinya Allah SWT telah memberikan arahan bagi hamba-Nya untuk
melakukan bisnis. Islam itu sendiri merupakan sumber nilai dan etika dalam
segala aspek kehidupan manusia secara menyeluruh, termasuk wacana bisnis. Islam
memiliki wawasan yang komprehensif tentang etika bisnis. Mulai dari prinsip
dasar, pokok-pokok kerusakan dalam perdagangan, faktor-faktor produksi, tenaga
kerja, modal, organisasi, distribusi kekayaan, masalah upah, barang dan jasa,
kualifikasi dalam bisnis, sampai kepada etika sosio ekonomik menyangkut hak
milik dan hubungan sosial. Dalam agama Allah ini terdapat aturan
maupun etika dalam melakukan bisnis. Telah dicontohkan oleh tauladan
kita Rasulullah SAW bagaimana beliau melakukan bisnis dengan cara
berdagang. Bahkan hal tersebut telah dilakukannya dari kecil ketika diajak
pamannya Abu Thalib untuk berdagang ke Syam. Dan dimana ketika seorang saudagar
wanita kaya yakni Siti Khadijah r.a mempercayai beliau untuk menjual
dagangannya ke pasar maka, Rasulullah pun melaksanakannya dengan kejujuran dan
kesungguhan.
Dalam pandangan Islam terdapat aturan ataupun etika yang harus dimiliki
oleh setiap orang yang ingin melakukan bisnis. Seorang mukmin dalam berbisnis
jangan sampai melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan syariat.
Rasulullah SAW banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis, di
antaranya ialah: Pertama, bahwa prinsip esensial dalam bisnis
adalah kejujuran. Dalam doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat fundamental
dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam
aktivitas bisnis. Dalam tataran ini, beliau bersabda: “Tidak dibenarkan seorang
muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya”
(H.R. Al-Quzwani). Kedua, dalam Islam tidak hanya mengejar keuntungan
saja (profit oriented) tapi, juga harus memperhatikan sikap ta’awun (tolong-menolong)
diantara kita, sebagai implikasi sosial bisnis. Ketiga, tidak
melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad SAW sangat intens melarang para pelaku
bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis. Dalam sebuah
hadis riwayat Bukhari, Nabi bersabda, “Dengan melakukan sumpah palsu,
barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah”. Dalam hadis
riwayat Abu Dzar, Rasulullah saw mengancam dengan azab yang pedih bagi orang
yang bersumpah palsu dalam bisnis, dan Allah tidak akan memperdulikannya nanti
di hari kiamat (H.R. Muslim). Keempat, bisnis dilakukan dengan
suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang bathil, kecuali
dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu” (QS. 4:
29). Kelima, bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba.
Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika
kamu beriman (QS. al-Baqarah: 278) dan masih banyak lagi etika ataupun petunjuk
bisnis dalam Islam. Semua yang disebutkan diatas harus benar-benar dilakukan
agar apa yang kita lakukan mendapat ridho- Nya.
Selain berhubungan dengan manusia yang lain (hablum minannas),
juga harus menjalin hubungan dengan Sang Khaliq (hablum minallah),
sehingga dalam setiap tindakan mukmin merasa ada yang mengawasi yakni Allah
SWT. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim dalam
berbisnis. Hal ini karena bisnis dalam Islam tidak semata–mata orientasi dunia
tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti
itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi
Islam. Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak harus dipandang
sebagai dua hal yang bertentangan sebab, bisnis yang merupakan simbol dari
urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat
investasi akhirat. Artinya, jika oreientasi bisnis dan upaya
investasi akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas
kepatuhan kepada Allah SWT), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan
kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam
Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi
mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang dibisniskan (diniatkan sebagai
ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat.
Jika sekiranya kaum muslimin mengetahui dan memahami apa saja yang harus
ada pada pribadi pembisnis yang sesuai dengan dustur yang telah ada ( Al-
Qur’an dan Al- hadits), maka niscaya akan tercipta suasana yang harmonis serta
akan terjalin ukhuwwah Islamiyah diantara kita. Dan hanya kepada –Nya lah semua
urusan dikembalikan. Yaa Illaahi Anta maqshudi wa ridhooka mathlubi.
Wallahua’lam.
Penulis
Millaturrofi'ah