Setiap manusia dalam kehidupan sehari-hari
tidak bisa terlepas dari yang namanya aktifitas, baik itu aktifitas fisik
maupun aktifitas non-fisik. Salah satu aktifitas fisik yaitu berupa
gerakan-gerakan atau yang sering disebut dengan kerja. Bekerja mengandung makna
melaksanakan suatu tugas yang diakhiri dengan hasil atau buah karya yang dapat
digunakan sebagai pemenuh kebutuhan yang dapat dinikmati oleh manusia yang
bersangkutan (As’ad, 2002: 46).
Banyak faktor yang memengaruhi manusia
untuk bekerja. Faktor yang utama yaitu untuk memenuhi kebutuhan primer.
Dalam bekerja tentu tujuan utama yang diharapkan adalah upah atau gaji.
Aktifitas bekerja selain untuk mendapatkan upah juga mengandung unsur sosial,
menghasilkan sesuatu produk yang pada akhirnya akan menjadi pemenuh kebutuhan
manusia lain. Dengan demikian, bekerja merupakan upaya memertahankan
kelangsungan hidup dan juga mencapai taraf hidup yang lebih baik (As’ad,
2002: 46).
Menurut DR. Payaman Simanjuntak, dalam
bukunya “Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia” mendefinisikan tenaga kerja
sebagai penduduk yang sudah bekerja atau sedang mencari pekerjaan, untuk
menghasilkan sesuatu yang sudah memenuhi persyaratan ataupun batas usia yang
telah ditetapkan Undang-Undang. Secara praktis DR. Payaman Simanjuntak
mendefinisikan pengertian tenaga kerja dan bukan tenaga kerja hanya dibedakan
menurut faktor umur belaka.
Indonesia yang merupakan salah
satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia dengan populasi
penduduk sekitar 237,6 juta jiwa (sensus penduduk tahun 2010). Dengan jumlah
penduduk yang sebanyak itu, tentu setiap penduduk Indonesia yang tengah
memasuki usia kerja saling bersaing untuk mendapatkan pekerjaan. Apalagi di
Indonesia jumlah tenaga kerja produktif semakin meningkat setiap tahunnya.
Meningkatnya produktifitas tenaga kerja di
Indonesia tidak diimbangi dengan jumlah lapangan kerja yang memadai, dengan
pusat perekonomian Indonesia hanya berada di Jawa, khusunya terpusat di Jakarta
dan kawasan penyangga. Banyak penduduk Indonesia yang mengadu nasib ke Jakarta,
dengan harapan dapat memerbaiki taraf kehidupannya di desa agar menjadi
lebih baik.
Problematika yang sering kita jumpai dari
zaman dahulu sampai sekarang adalah banyaknya angka pengangguran
dan minimnya jumlah lapangan pekerjaan. Disamping itu,
rata-rata penduduk Indonesia bekerja dibawah garis layak dan sedikit yang
bekerja di tempat yang memadai. Upaya yang ditempuh pemerintah dalam menangani
problematika tersebut dari waktu ke waktu belum teratasi, dikarenakan semakin
sempitnya lapangan pekerjaan dan Indonesia sendiri tengah memasuki masyarakat
ekonomi asean (MEA), sehingga banyak berdatangan tenaga kerja asing ke
Indonesia.
Dalam Islam, semua urusan duniawi sudah
diatur semuanya, begitupun soal pekerjaan. Konsep pekerjaan atau kerja dalam
Islam sering disebut dengan al-Kasb, salah satu tokoh yang menjelaskan tentang
konsep ini adalah Al-Syaibani atau Abu Abdillah Muhammad bin al-Hasan bin
Farqad al-Syaibani. Al-Syaibani lahir pada tahun 132 H (750 M) di kota Wasit
ibukota Irak pada akhir pemerintah Bani Umayyah.
Al-Syaibani merupakan murid dari Abu
Hanifah dan merupakan sebagai tokoh penyebar madzhab hanafi, dan merupakan
salah satu murid yang sangat genius. Salah satu pemikiran
Al-Syaibani dalam hal ekonomi adalah dapat dilihat dalam kitab
al-Kasb, yaitu kitab yang mengkaji masalah mikro ekonomi yang berkisar pada
teori al-Kasb serta sumber-sumber pedoman perilaku produksi dan konsumsi.
Al-Kasb (kerja) menurut Al-Syaibani
merupakan upaya mencari harta melalui berbagai hal dengan cara yang tidak
dilarang dalam Islam, manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah di bumi
dan diperintahkan bekerja keras untuk kebutuhan
hidup guna mencari ridha allah SWT. Dalam ilmu ekonomi, biasanya
disebut dengan aktifitas produksi. Aktifitas produksi secara Islam dan
konvensional berbeda, perbedaan dalam ekonomi Islam adalah tidak
semua aktifitas akan menghasilkan barang atau jasa, karena erat kaitannya
dengan halal dan haram sesuatu barang dalam cara memeroleh.
Dalam memproduksi, harus mengetahui unsur
apa, bagaimana, cara, apa tujuan dari yang diproduksi serta kepada siapa objek
produksi tersebut. Sebab dalam Islam, barang atau jasa mempunyai nilai
guna jika mengandung objektifitas terhadap produsen karena didasarkan pada
tujuan (maqasid) syari’ah untuk memelihara kemaslahatan
manusia di dunia dan akhirat. Imam Al-Syaitibi menjelaskan, kemaslahatan
dapat dituju dengan melestarikan lima pokok unsur kehidupan yaitu, agama, akal,
jiwa, keturunan dan harta.
Konsep ekonomi konvensional menganggap
suatu barang atau jasa mamiliki nilai guna apabila barang tersebut masih
diperlukan. Maksudnya, nilai guna suatu barang akan ditentukan oleh keinginan
dari setiap konsumen ke konsumen lain dan bersifat objektif. Secara
umum, produksi konvensional hanya menyematkan unsur duniawi belaka, tanpa
memertimbangkan halal atau haram.
Aktifitas produksi merupakan bagian wajib
dari ‘Imarul Kaum atau menciptakan kemaslahatan untuk manusia.
Al-Syaibani menegaskan, kerja merupakan bagian utama produksi dan mempunyai
kedudukan sangat penting dalam kehidupan, karena menunjang pelaksanaan ibadah
kepada Allah SWT. Kerja mempunyai peranan penting dalam menunaikan suatu
kewajiban karena hukum dari bekerja itu wajib. Al-Syaibani pernah menyatakan
bahwa, bekerja merupakan ajaran Rasul terdahulu untuk diteladani para kaumnya
sebagai cara berlangsung hidup.
Salah satu implementasi dari kemaslahatan
bekerja yang layak adalah menciptakan usaha-usaha perekonomian.
Al-Syaibani membagi usaha perekonomian menjadi empat macam, yaitu sewa-menyewa,
perdagangan, pertanian dan perindustrian, diantara keempat usaha
perekonomian, Al-Syaibani mengutamakan pertanian dari usaha lain. Sebab,
pertanian memproduksi berbagai macam kebutuhan pokok manusia, baik itu primer
maupun sekunder.
Dari sisi hukum, usaha perekonomian dibagi
menjadi dua, yaitu fardu kifayah dan fardu ‘ain.
Di hukum fardu kifayah apabila roda perekonomian terus
berjalan untuk mencukupi kebutuhan sesama manusia, dan mengakibatkan krisis apabila
roda perekonomian itu berhenti, sedangkan di hukum fardu ‘ain apabila
usaha perekonomian hanya untuk mencukupi kebutuhan pribadi dan tanggungannya,
tanpa mengurusi kebutuhan kemaslahatan manusia.
Dalam kodratnya, manusia adalah makhluk
sosial yang saling membutuhkan manusia lain untuk berlangsung hidup.
Al-Syaibani menyatakan bahwa seseorang yang kaya akan selalu membutuhkan tenaga
orang fakir, sedangkan orang fakir akan membutuhkan orang kaya dalam memenuhi
kebutuhannya. Manusia juga dituntut untuk hidup berkecukupan, menggunakan harta
benda untuk berbuat kebajikan kepada sesama manusia, tidak dipergunakan untuk
memperkaya diri untuk kebutuhan pribadi.
Kerja juga merupakan salah satu implikasi
untuk kemajuan suatu negara, termasuk proses produksi, konsumsi, distribusi
dari suatu barang atau jasa akan berimplikasi secara menyeluruh untuk
meningkatkan taraf hidup dan kemaslahatan dan perekonomian suatu Negara.
Esensi makna bekerja (al-Kasb) menurut
Al-Syaibani ini selain untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menciptakan pekerjaan
yang layak, juga untuk menciptakan kemaslahatan kepada sesama. Karena dengan
menciptakan kemaslahatan kepada sesama manusia akan menciptakan masyarakat yang
sejahtera, tidak hanya satu atau dua orang yang mendapatkan hidup layak, tetapi
juga kehidupan layak setiap orang.
Dengan pekerjaan yang layak, secara
otomatis akan mengantarkan ketaatan kepada Allah SWT dalam beribadah. Karena
dengan kita mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan, passion,
dan juga pekerjaan yang layak, secara otomatis tidak akan pernah berpikiran
tentang hal duniawi.
Al-Syaibani mendefinisikan pekerjaan
sebagai aktifitas produksi, bisa disebut dengan ‘Imarul Kaum atau
menciptakan kemaslahatan kepada sesama manusia. Kerja merupakan bagian yang
penting dalam produksi, kehidupan, dan merupakan kewajiban. Al-Syaibani
menjelaskan implementasi pekerjaan yang kayak adalah menciptakan usaha-usaha
perekonomian, dan sebaik-baik usaha-usaha perekonomian adalah bertani. Karena
jerih payah tenaga yang dikeluarkan petani akan berguna bagi sesama, dan
pemenuh kebutuhan primer setiap orang tak hanya dinikmati petani sendiri.
Di Indonesia sendiri, yang notabene negara
agraris masih mengesampingkan pekerjaan bertani, masyarakat yang bekerja
sebagai petani malah hidup dibawah garis layak dan rata-rata masyarakat
Indonesia lebih memilih untuk bekerja industrial ataupun di perkantoran.
Seharusnya, pemerintah harus memerhatikan seorang petani, karena usaha yang
dikeluarkan seorang petani dalam bercocok tanam sebagai kebutuhan pokok semua
orang
Penulis
Nor Lailatul Yulia
Study Kitab Klasik Karya Al-Syaibani