Qard, Rahn, dan Syuf’ah
Secara etimologi qard adalah potongan. Secara terminologi qard adalah menyerahkan utang kepada orang yang bisa memanfaatkannya kemudian ia meminta pengembaliannya sebesar uang tersebut. Utang merupakan upaya memberikan pinjaman kepada orang lain dengan syarat pihak peminjam mengembalikan gantinya.
Hukum qard itu boleh. Dasar hukum yang membolehkan Qard ada di surat Al- Hadid ayat 11 yang artinya: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak”. Dan dalam sabda Nabi yang diriwayatkan oleh H.R muslim, yang artinya: “Barang siapa meghilangkan salah satu kesulitan dunia dari saudaranya maka Allah menghilangkan darinya salah satu kesulitan pada hari kiamat”.(HR. Muslim).
Adapun syarat qard, pertama besarnya pinjaman harus diketahui dengan takaran, timbangan, atau jumlahnya. Kedua sifat pinjaman dan usianya harus diketahui jika dalam bentuk hewan. Ketiga pinjaman tidak sah dari orang yang tidak memiliki sesuatu yang bisa dipinjam atau orang yang tidak normal akalnya. Rukun qard yaitu pemilik barang (muqridh), yang mendapat barang atau peminjam (muqtaridh), ijab qabul, barang yang dipinjamkan (qard).
Syuf’ah secara bahasa diambil dari kata syaf’, yang artinya pasangan. Syuf’ah menurut fuqaha (ahli fiqh) adalah keberhakan kawan sekutu mengambil bagian kawan sekutunya dengan ganti harta (bayaran), lalu syafii’ mengambil bagian kawan sekutunya yang telah menjual dengan pembayaran yang telah tetap dalam akad.
Syuf’ah ini tsabit (sah) berdasarkan As Sunnah dan Ijma’. Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, ia berkata,
قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَالٍ لَمْ يُقْسَمْ فَإِذَا وَقَعَتْ الْحُدُودُ وَصُرِّفَتْ الطُّرُقُ فَلَا شُفْعَةَ
“Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan syuf’ah pada harta yang belum dibagi-bagi, ketika batasannya telah ditentukan dan jalan telah diatur, maka tidak ada lagi syuf’ah”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
جَارُ الدَّارِ أَحَقُّ بِالدَّارِ
“Tetangga rumah lebih berhak dengan rumahnya”. (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa’ no. 1539).
Para ulama juga telah sepakat tentang tetapnya hak syuf’ah bagi sekutu yang belum melakukan pembagian pada sesuatu yang dijual, baik berupa tanah, rumah maupun kebun. Objek syuf’ah adalah tanah yang belum dibagi-bagi, diikuti pula dengan apa yang ada di dalamnya berupa pepohonan dan bangunan.
Hikmah disyari’atkan syuf’ah adalah untuk menghindari bahaya dan pertengkaran yang mungkin sekali timbul. Hal itu, karena hak milik syafii’ terhadap harta yang dijual yang hendak dibeli oleh orang lain menolak adanya madharat yang mungkin timbul dari orang lain tersebut.
Secara etimologi, rahn berarti (tetap dan lama), yakni tetap atau berarti (pengekangan dan keharusan). Menurut terminologi syara’, rahn berarti “Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut”.
Adapun pendapat ulama dalam mendefinisikan rahn. Menurut ulama Syafi’iyah: “Menjadikan suatu barang sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang”. Dan menurut ulama Hanabilah: “Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman”.
Sifat rahn secara umum rahn dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murtahin kepada rahin adalah utang, bukan penukur atas barang yang digadaikan. Rahn juga termasuk akad bersifat ainiyah, yaitu dikatakan sempurna sesudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam-meminjam, titipan, dan qirad. Semua termasuk akad tabarru’ (derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (al-qabdu), sesuai kaidah (tidak sempurna tabarru’, kecuali setelah pemegangan).
Landasan rahn dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 283, “Apabila kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secar tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.” (QS. Al-Baqarah: 283). Dalam As-Sunnah, “Dari Siti Aisyah r.a bahwa Rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besi”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Hukum rahn para ulama sepakat bahwa rahn dibolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja jika kedua pihak tidak saling mempercayai. Firman Allah SWT pada ayat diatas adalah irsyad (anjuran baik) saja kepada orang beriman sebab dalam arti lanjutan dari ayat 283 surat Al-Baqarah yang artinya: “Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya)”. (QS. Al-Baqarah: 283).
Selain itu, perintah untuk memberikan jaminan sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut dilakukan ketika tidak ada penulis, padahal hukum utang sendiri tidaklah wajb, begitu juga penggantinya, yaitu barang jaminan.
Rukun rahn, rahn memiliki empat rukun, yaitu rahin (orang yang memberikan jaminan), al-murtahin (orang yang menerima), al-marhun (jaminan), dan al-marhun bih (utang). Menurut ulama Hanafiyah rukun rahn wajib adalah ijab dan qabul dar rahin dan al-murtahin, sebagaimana pada akad yang lain. Akan tetapi, akad dalam rahn tidak akan sempurna sebelum adanya penyerahan barang. Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, rukun rahn adalah shigat, aqid (orang yang akad), marhun, dan marhun bih.
Syarat-syarat rahn, untuk persyaratan aqid; kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al-ahliyah. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dan mumayyiz, tetap tidak disyaratkan harus baligh. Dengan demikian, anak kecil yang sudah mumayyiz, dan orang yang bodoh berdasarkan izin dari walinya dibolehkan melakukan rahn.
Akhir Rahn, rahn dipandang habis dengan beberapa keadaan seperti membebaskan utang, hibah, membayar hutang, dan lain-lain yang akan dijelaskan dibawah ini: borg diserahkan kepada pemiliknya, dipaksa menjual borg, rahin melunasi semua utang, pembebasan utang, pembataalan rahn dari murtahin, rahin meninggal, borg rusak, tasharruf dan borg.
Potensi Harta Zakat di Indonesia dan Zakat Produktif serta Mekanisme Penyaluran dan Pembagian ZIS (Zakat, Infaq dan Shodaqoh)
Pengertian infaq dan shodaqoh. Infaq adalah bentuk pengeluaran materi dengan tujuan yang jelas, seperti untuk pembangunan masjid dan gedung lembaga Islam lainnya. Sedangkan shodaqoh adalah pemberian kepada orang lain baik materi ataupun non materi secara sukarela. Zakat, infaq dan shodaqoh merupakan salah satu sektor penunjang pemerataan pendapatan masyarakat juga sebagai salah satu bentuk upaya mensejahterakan rakyat. Namun, tidak semua rakyat dapat menikmati dana zakat, hanya yang termasuk dalam (8 asnaf) golongan yang berhak menerima zakat.
Dari survei Public Interest Research and Advocacy Center mengenai potensi zakat, dapat diketahui bahwa potensi zakat di Indonesia mengalami peningkatan yang baik dari tahun ke tahun. Dengan potensi yang selalu meningkat, namun banyak dari masyarakat yang belum merasakan dana zakat tersebut khususnya bagi 8 asnaf tersebut. Hal tersebut bisa disebabkan oleh kurangnya pengelolaan dana zakat yang baik oleh lembaga pengelolaan zakat. Selain itu, posisioning atau target penerima zakat yang disalurkan oleh pengelola zakat belum tepat, pendistribusian zakat dapat diberikan dalam bentuk dana konsumtif dan dana produktif. Dana tersebut diberikan berdasarkan kebutuhan mustahik (penerima zakat), itu dapat diketahui dari survei yang dilakukan oleh badan pengelola zakat.
Dana konsumtif diberikan pada 8 golongan yang dikira membutuhkan bantuan pangan, sedangkan dana produktif adalah dana yang diberikan kepada mustahik dengan tujuan dana tersebut dapat menghasilkan pendapaatan bagi para mustahik seperti pemberian modal untuk usaha agar dapat merubah status mustahik menjadi muzakki.
Untuk dana infaq dan shodaqoh, dana produktif dapat dialokasikan dalam berbagai bidang seperti pendidikan dengan pemberian beasiswa, dalam sektor kesehatan juga dengan membagikan voucher kesehatan dan voucher tersebut dapat digunakan untuk berobat tanpa biaya selama nominal voucher sama dengan biaya berobat ketika itu.
Pendataan untuk para mustahik perlu dilakukan agar tidak terjadi miss comunication dengan lembaga lain atau doble dalam pemberian zakat bagi lembaga yang sejenis. Mengenai zakat saham dan obligasi, jika ditelisik, saham dan obligasi merupakan sebuah aset yg dimiliki oleh perusahaan atau individu dimana aset tersebut dapat berubah-ubah nominalnya (naik-turun), namun aset tersebut dapat dizakati apabila sudah mencapai nisab dalam satu haul.