“Dia yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu
dalam kemanusiaan” (Ali Bin Abi Thalib). Teladan kata-kata tersebut sekarang
adalah para tenaga medis yang berperang melawan covid-19. Kalau dibilang garda
terdepan adalah tenaga medis, sepertinya sekarang kurang tepat.
Garda terdepan adalah masyarakat. Tenaga medis hanya menyembuhkan, memberi obat, merawat, tak sedikit juga yang mengedukasi. Tapi yang menjadi transportasi covid-19 loncat dari satu inang ke inang yang lainnya itu ya masyarakat. Jadi untuk memberhentikan transportasi utama virus itu jelas kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan, menghindar dari kerumunan, kurangi otewe-otewe tidak penting dan semua prinsip social distancing.
Garda terdepan adalah masyarakat. Tenaga medis hanya menyembuhkan, memberi obat, merawat, tak sedikit juga yang mengedukasi. Tapi yang menjadi transportasi covid-19 loncat dari satu inang ke inang yang lainnya itu ya masyarakat. Jadi untuk memberhentikan transportasi utama virus itu jelas kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan, menghindar dari kerumunan, kurangi otewe-otewe tidak penting dan semua prinsip social distancing.
Akhir-akhir ini banyak sekali berita bersliweran
mengganggu nurani saya. Tentang apa dan siapa? ya bisa disebut derita tenaga
medis. Banyak penolakan masyarakat kepada tenaga medis untuk hidup di tengah-tengah
mereka. Mengusir dari tempat tinggal, kontrakan, kost-kostan, bahkan menolak
jenazah untuk dimakamkan. Saya bersyukur, masyarakat ternyata sudah memiliki
kewaspadaan tinggi. Tapi saya lebih bersyukur lagi, jika kesadaran masyarakat
tidak melupakan kemanusiaan.
Coba sekarang bayangkan bagaimana letihnya tenaga medis
yang merawat para pasien positif covid-19. Mereka harus menggunakan APD ( Alat
pelindung diri) berjam-jam yang pasti rasanya panas, ribet, dan untuk bernapas
pasti cukup menyusahkan. lha wong kita pakai masker bahan saja 30 menit
rasanya engap, apalagi mereka berjam-jam menggunakan masker N95.
Belum lagi banyak dari mereka yang kekurangan APD dan
harus memakai jas hujan plastik. Lalu bagaimana mereka yang harus menahan haus
dan lapar ketika bertugas di ruang isolasi. Kencing pun mereka harus menahan
demi pelayanan prima pasien.
Iyah, itu baru sekedar masalah fisik mereka. Batin mereka
saya rasa cukup tersiksa. Ketika banyak pengakuan tenaga medis yang keluarganya
rindu, anak-anak mereka yang selalu menanyakan. “Ayah kapan pulang?, Ibu kapan
pulang?”. Mereka harus jawab apa, padahal mereka juga tidak tahu kapan covid-19
akan berakhir.
Saya pikir mereka tidak melakukan itu semua karna
tuntutan pekerjaan. Bisa saja mereka berhenti untuk sementara dan diam dirumah bersama keluarga. Apalagi demi
uang, jelas mereka bisa mencari alternative lain ya walaupun memang sulit. Jika
mereka egois mementingkan nyawa sendiri dan keluarga, mudah saja mereka menolak
bertugas. Tapi mulianya mereka tetap memilih mementingkan raga orang lain dan
hanya karena rasa kemanusiaan.
Sayangnya tenaga medis yang sudah mengusahakan pasien
dengan rasa kemanusiaan ternyata tidak diperlakukan secara manusiawi ketika
kembali kemasyarakat. Wahai masyarakat yang Budiman jika kalian merasa
khawatir, ya jaga jarak bukan mengurak. Jika kalian takut, ya jaga diri jangan
menghardik. Jika kalian waspada, lakukan pencegahan bukan berlebih sembarangan
menaruh curiga.
Kalau dibilang masyarakat yang mengusir tenaga medis,
menolak pemakaman jenazah covid-19 yang bahkan itu adalah mereka para perawat
hanya karena kurang edukasi, baiklah saya mencoba untuk khusnudzon. Tapi jika tenaga
medis sudah menjelaskan secara gamblang SOP pemakaman dan masyarakat masih
menolak. Sepertinya itu bukan kurang edukasi, tapi hilangnya rasa manusiawi.
Sekarang kita coba mengingat lagi, kasus keluarga jenazah
covid-19 yang memaksa untuk membuka plastik jenazah. Dan akhirnya warga
sekampung yang turut terlibat statusnya menjadi ODP. Mereka melakukan itu
karena jenazah adalah anggota keluarganya, saudaranya. Jelas mereka merasa
sedih ketika melihat anggota keluarganya meninggal dalam keadaan seperti itu.
Faktanya sekarang terbalik, mereka ternyata tidak
konsisten. Kenapa tidak sekalian saja jenazah perawat covid-19 mereka makamkan
dengan layak, mereka tangisi karena pengorbanannya yang begitu besar. Alih-alih
mereka tolak dengan suara lantang karena dia adalah jenazah covid-19. Yha,
ternyata kepedulian mereka sebatas pada saudara sedarah, bukan saudara
kemanusiaan.
Padahal jika bukan saudara sedarah atau seiman. Masih ada
kemanusiaan yang bisa jadi alasan mereka saling peduli, membantu, mengasihi.
Indah rasanya jika itu kemanusiaan melekat antar sesama. Apalagi antara kita
dengan tenaga medis. Meski waspada, setidaknya tanya kabar saling sapa, apa
kalian baik-baik saja.
Saya miris, tapi juga heran. kalau kurang edukasi
bertindak konyol, kelebihan edukasi jadi waspada yang tidak berkemanusiaan.
Pantas saja sinetron Indonesia ending-nya selalu dengan adzab, saling
bermanfaat dan mengucapkan terima kasih. Ternyata masalah warga +62 adalah belum bisa
mengucapkan maaf dan terima kasih yang berkemanusiaan.