Pelaku pasar global sedang dicekam kekhawatiran melihat kondisi perekonomian global yang tengah dibayangi resesi. Kekhawatiran investor akan resesi global disebabkan karena inflasi yang cenderung masih meninggi dalam jangka pendek dan beberapa data ekonomi yang mengecewakan.
Di Amerika Serikat (AS), bank sentral (Federal
Reserve/The Fed) mengatakan bahwa pihaknya tidak akan melunak sampai tingkat
inflasi di negaranya jauh melandai dari posisi saat ini. Dalam pengumuman kebijakan moneter terakhir yang diumumkan pada Kamis (16/6/2022)
dini hari, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin (bp) ke
1,5-1,75%. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak 1994, dan belum akan
berakhir. Berdasarkan Fed Dot Plot yang dirilis setiap akhir kuartal, mayoritas
anggota pembuat kebijakan moneter (The Fed) melihat suku bunga di akhir tahun
berada di 3,4% atau di rentang 3,25-3,5%. Tingkat suku bunga tersebut lebih
tinggi 1,5% ketimbang Fed Dot Plot edisi Maret.
Sebelumnya pada Mei lalu, inflasi dari sisi konsumen (Indeks Harga
Konsumen/IHK) di AS melonjak kembali menjadi 8,6% secara tahunan (year-on-year/yoy),
menjadi yang tertinggi sejak 41 tahun. Sedangkan inflasi dari sisi produsen (producer
price index/PPI) di AS cenderung menurun menjadi 10,8% (yoy) pada
Mei lalu. Meski turun, tapi pasar berekspektasi bahwa PPI berpotensi melonjak
kembali ke depannya.
Di lain sisi, tingkat keyakinan
konsumen juga terpantau merosot, dan penjualan ritel turun 0,3% pada Mei dari
bulan sebelumnya. Ketika tingkat keyakinan konsumen merosot, maka belanja
rumah tangga yang merupakan tulang punggung perekonomian juga akan menurun. Hal
ini berdampak buruk pada perekonomian Amerika Serikat.
Ketua The Fed dua periode ini sebelumnya mengatakan tidak banyak
yang bisa dilakukan untuk mengendalikan inflasi energi dan harga makanan,
tetapi menyarankan akan terus menaikkan suku bunga hingga harga gas turun. Kemudian
ekspektasi inflasi yang sebelumnya masih cukup bagus. Tetapi kenaikan suku
bunga sebesar 75 basis poin dikatakan sebagai akibat naiknya ekspektasi
inflasi. Di lain sisi, The Fed seakan tidak konsisten dengan sikapnya dan
banyak yang menilai bahwa The Fed telah salah mengambil sikap.
Kemudian, suku bunga disebut akan naik secara bertahap tetapi
berubah lagi menjadi lebih agresif dengan menaikkan 50 basis poin (bp) di Mei
lalu. Jika dilihat dari pernyataan The Fed terakhir, mereka tidak akan melunak
hingga inflasi di Negeri Paman Sam bisa diredam cukup signifikan. Hal ini
menjadikan bahwa The Fed masih akan hawkish, bahkan makin agresif untuk
menaikkan suku bunganya.
Kembali diinformasikan, berdasarkan Fed Dot Plot yang dirilis setiap akhir kuartal, mayoritas anggota pembuat
kebijakan moneter (The Fed) melihat suku bunga di akhir tahun berada di 3,4%
atau di rentang 3,25-3,5%. Jika The Fed memang berniat untuk menaikkan suku
bunganya hingga kisaran tersebut, maka kekhawatiran pasar akan resesi semakin
besar, karena sikap agresif The Fed untuk mengekang inflasi di AS.
Namun,
melihat dari banyaknya pemikiran pelaku pasar bahwa The Fed tidak konsisten
dengan sikapnya, maka bisa saja sikap The Fed akan berubah kembali, tentunya
dengan pertimbangan inflasi dan data ekonomi serta ketenagakerjaan yang kembali
memburuk akibat kekhawatiran pasar akan potensi resesi.
The Fed
akan kembali melunak jika inflasi dinilai sudah jauh melandai dan data ekonomi
maupun data ketenagakerjaan dinilai tidak mencapai target yang
dicapai. Namun, hal ini cenderung sulit karena faktor inflasi di AS yang
meninggi bukan hanya karena permintaan dan penawaran di AS, tetapi juga kondisi
global akibat perang Rusia-Ukraina.
Perang
tersebut membuat Negara Barat melakukan sanksi ekonomi kepada Rusia yang
berimbas kepada kenaikan harga komoditas energi dan pangan. Jika hal ini terus
terjadi, maka bukan tidak mungkin inflasi global masih akan meninggi hingga
beberapa bulan ke depan dan The Fed masih akan bersikap hawkish hingga
akhir tahun ini, atau hingga target suku bunga acuannya tercapai di kisaran
3,25-3,5%.
Penulis: Anggi Nofita Sari