Kecilnya ukuran pada cemilan saat ini ramai diperbincangkan, terutama bagi para pecinta cemilan yang mengaku kecewa, entah itu menerima maupun tidak, namun harus mengakui hal tersebut.
Terutama pada produk cemilan kering yang sering dijumpai saat membeli di toko-toko terdekat. Fenomena penyusutan ukuran ini disebut shrinkflation. Shrinkflation ini biasanya terjadi karena perusahaan berupaya menyesuaikan harga biaya produksi berupa biaya bahan, pengemasan, tenaga kerja, dan transportasi menjadi naik akibat dari inflasi. Inflasi ini dipicu oleh Pandemi COVID-19. Karena di Indonesia sendiri, saat ini besarnya inflasi sekitar 4.9% year on year per Juli 2022 dan ini angka tertinggi sejak 2015 lalu. Terjadinya inflasi yang tinggi membuat perusahaan melakukan strategi untuk mengendalikan ongkos produksi karena naiknya harga-harga bahan baku. Hal ini menyebabkan para ahli ekonomi di dunia mengatakan fenomena shrinkflation 2022 ini bukan hal yang baru.
Dikutip dari voaindonesia.com para ahli mengatakan bahwasannya penyusutan bukan hal baru, namun semakin meluas saat inflasi karena perusahaan bergulat dengan kenaikan biaya untuk bahan-bahan produk, pengemasan, tenaga kerja dan transportasi. Menurut Edgar Dworsky selaku advokat konsumen dan mantan asisten jaksa agung di Massachusetts mengatakan bahwasannya dorongan untuk melakukan “shrinkflation” ini karena pelanggan akan mengetahui jika terjadi peningkatan harga, tetapi tidak akan menyadari adanya perubahan berat kemasan atau rincian kecil seperti jumlah isi dari jajanan tersebut yang berkurang. Perusahaan-perusahaan itu menyadari bahwa mereka juga dapat menggunakan trik untuk mengalihkan perhatian publik dari perampingan kemasan, seperti menandai paket yang lebih kecil dengan label baru yang cerah dan tetap menarik perhatian pembeli.
Lalu, dikutip dari vice.com menurut Mamang selaku karyawan yang memiliki pengalaman selama enam tahun bekerja di dua perusahaan yang menjual produk-produk Fast Moving Consumer Goods (FMCG), target pasar makanan ringan adalah kelas menengah ke bawah, maka perusahaan perlu melakukan penyesuaian terus-menerus dengan permintaan, kondisi, dan daya beli konsumen segmen tadi. Dalam konteks ini, makan cemilan tetap harus dibikin semurah mungkin, tapi dengan kualitas yang tetap baik. Biasanya dengan begitu, produk cemilan atau makanan yang berkurang volume isinya, memberikan “iming-iming” jenis lain. Misalnya varian rasa bertambah, hadiah menarik yang bisa didapatkan di dalam bungkusnya, undian jalan-jalan ke luar negeri, dan promo menarik lainnya. Serta dalam upaya penyusutan ukuran cemilan dan makanan ini, perusahaan akan senantiasa melakukan percobaan dan riset ke konsumen. Misalnya dengan mencoba dulu mengecilkan ukuran, lalu dilempar ke pasaran. Setelah itu akan ada analisis efek dari konsumen. Jika tidak ada keluhan dari konsumen, perusahaan (produsen) mulai memikirkan tindakan yang harus dilakukan dalam pengurangan ukuran atau bahan baku ini. Namun pada sebuah produk ini tidak hanya soal ukuran, melainkan soal nilai yang bisa didapat oleh konsumen.
Di samping itu dikutip dari landx.id menurut Yuswo Hady selaku pakar pemasaran mengatakan bahwasannya dalam riset yang dikeluarkan AC Nielsen, sejak 2015 pangsa pasar industri cemilan kemasan cenderung menurun. Ada 55 item cemilan kemasan yang mengalami penurunan seperti makanan ringan /cemilan, mie instan, kopi kemasan, minuman, biskuit, air minum kemasan, dan obat-obatan. Semuanya masuk dalam kategori manufacturing atau package food. Inilah yang disebut sebagai pergeseran pola konsumsi dari yang awalnya didominasi oleh makanan dan minuman (goods based consumption), menjadi industri hiburan dan leisure (experience-based consumption). Begitu pun juga dengan data Nielsen juga menunjukkan penjualan barang konsumsi Januari-September 2017 tumbuh lambat dengan hanya 2,7 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tumbuh 7,7 persen. Kedua angka tersebut masih di bawah rata-rata pertumbuhan tahunan penjualan FMCG 11 persen selama 10 tahun terakhir.
Adanya shrinkflation ini memberi keuntungan kepada konsumen, produk tetap terjangkau meskipun terjadi penyusutan yang tidak terlalu signifikan. Sedangkan untuk perusahaan dengan melakukan penyusutan kuantitas ini dapat mempertahankan atau meningkatkan keuntungan dari hasil penjualan produk. Tetapi ada juga kerugian dari shrinkflation sendiri, yaitu potensi akan menimbulkan hilangnya kepercayaan konsumen, apalagi jika ada perubahan pada bahan bakunya. Konsumen akan merasa tidak adil dengan hal tersebut. Selain itu, persaingan antara perusahaan satu dengan yang lain tidak akan sehat dikarenakan adanya penyusutan kuantitas produk.
Penulis : Fariz Adhica (Kader Forshei 2021)